Rini Sugianto, Animator Indonesia di Level Dunia
Seketika nama Rini Sugianto (31) mendadak ramai dibicarakan media massa
di Indonesia. Rini Sugianto adalah salah satu animator Indonesia yang
telah sukses menembus level dunia. Ia pun terlibat dalam animasi yang
cukup bergengsi, “The Adventures of Tintin” karya Steven Spielberg dan
saat ini sedang mengerjakan post production animation untuk film “The
Avengers”. Melalui e-mail, lulusan Academy of Art University, San
Francisco ini mengaku mendapatkan banyak pengalaman di dunia animasi.
Adalah dari tangan dingin seorang animator asal Indonesia, Rini
Sugianto film tersebut mungkin tidak akan sesukses di ajang tersebut.
Rini Sugianto memang turut berandil dalam proses
pengerjaan story board dengan total adegan 70 shot dalam film tersebut.
Memang tidak sebentar Rini mengerjalan projek ini. Tercatat, waktu yang
dibutuhkan untuk Rini dapat menyelesaikan story board film ini adalah
empat tahun.
Di tangan Rini, film yang dikemas dalam 3D movie ini
memang terlihat sangat halus dan patutlah kita berbangga ada seorang
animator Indonesia lagi yang turut memberikan banyak andil dalam film
layar lebar Tintin yang pertama ini. Sekali lagi, Indonesia patut
berbangga warganya bisa turut andil dalam pengerjaan projek film yang
sukses dan mampu meraih penghargaan Golden Globe.
Film animasi
Adventure Of Tintin di ajang penghargaan Golden Globes meraih
penghargaan film animasi terbaik di Golden Globe. Film ini besutan
sutradara senior Hollywood, Steven Spielberg. Di tangan Steven, film
animasi yang menggunakan teknologi 3D performance capture ini berhasil
mengungguli kompetitornya seperti Cars 2, Arthur Christmas. Puss in
Boots dan Rango.
Dari Game ke Film
Awalnya, Rini bercerita, ia sempat kesulitan mencari kerja. Tetapi
kemudian, Rini dapat kesempatan untuk magang di sebuah perusahaan game
di San Francisco. “Setelah tiga bulan, mereka decided untuk hire saya
full time,” kenangnya. Rini pernah mencicipi menggarap animasi di
beberapa studio game. Mulai dari Stormfront (pembuat game Neverwinter
Nights), Offset Studio (Project Offset) dan kemudian Blur Studio (yang
melahirkan game seperti Dante’s Inferno, Halo dll). Sejak Agustus 2010,
Rini bergabung dengan Weta Digital di Selandia Baru.
Tantangan dan Kesempatan
Meski sudah mencapai level internasional, Rini masih tampak
berhati-hati untuk tidak terlalu membangga-banggakan prestasinya. Ia
mengaku masih banyak tantangan yang harus dihadapi.
“Tantangan paling besarnya mungkin untuk tetap menghasil(kan) animasi
yang bagus. Animation industry ini very competitive, dan saingannya
dari mana-mana. Lulusan-lulusan baru dari sekolah-sekolah animasi juga
tidak kalah dengan animator yang sudah bekerja bertahun-tahun,” ia
bercerita.
Tapi sisi baiknya, ujar Rini, industri animasi adalah industri yang
melibatkan banyak negara. “Jadi bisa kenal dengan orang-orang dari
berbagai negara, dan bisa dapet kesempatan untuk bekerja di berbagai
negara juga,” paparnya.
Setelah Tintin, yang murni animasi dan digarap penuh oleh Weta Digital,
Rini sekarang mengerjakan animasi pasca produksi untuk film The
Avengers. Perbedaannya cukup mencolok karena Avengers dikerjakan oleh
beberapa perusahaan dan merupakan film live action.
Bagi penggemar film dari komik tentunya The Avengers salah satu yang
dinanti-nantikan. Ini akan menjadi titik temu beberapa film laris
seperti Captain America, Iron Man dan Thor. Sayangnya, Rini belum bisa
membocorkan apa-apa dari film itu.
Animasi Indonesia
Rini mengaku cukup memperhatikan perkembangan animasi di Indonesia.
Bahkan selama satu tahun terakhir, ia terlibat sebagai juri dalam sebuah
kompetisi yang diadakan komunitas IndoCG.
Menurut Rini, ia mengamati adanya perbaikan kualitas dari animasi yang
dihasilkan Indonesia. Animator Indonesia yang bekerja di berbagai
negara juga semakin banyak.
Ia pun berharap Indonesia bisa menghasilkan karya animasi yang semakin
baik. Tak menutup kemungkinan pula akan lahirnya film animasi layar
lebar maupun studio animasi kelas atas dari Indonesia.
Kepada para animator di Tanah Air, ia berpesan: “Saya selalu bilang
untuk never give up, there’s always a way. Terus juga untuk
animator-animator: Always ask for critiques. Itu cara paling gampang
untuk memajukan skill kita sendiri.”
Perjalanan Karir
Ketika mantap ingin menjadi seorang animator, tantangan pertama yang
harus ia hadapi adalah keraguan orang tuanya. Tekanan orang tua yang
kurang mendukung dengan keputusannya untuk menjadi seorang animator
merupakan pekerjaan rumah tersendiri bagi Rini. Namun akhirnya kedua
orang tuanya luluh juga ketika melihat Rini serius menjalani
pekerjaannya. "Lama-lama mereka lihat juga kalau ini memang jalan
hidupnya," katanya.
Bagi Rini, memang butuh waktu yang tidak sebentar untuk menjadi seorang
animator. Setelah selesai kuliah di Universitas Parahyangan, ia
melanjutkan pendidikan di Academy of Art University, San Francisco, MFA
Animation (2002-2005). Dan kini ia bekerja di Weta Digital, New
Zealand. Sebuah perusahaan yang mengerjakan visual effects dan animasi untuk film dan iklan.
"Setelah kuliah, saya intern dulu di Stormfront Studio, baru ke Offset Software, terus ke Blur Studio, baru ke Weta. Pretty much perjuangannya sampai ke Weta sekitar 5 tahun. Tintin ini film pertama saya," cerita Rini tentang perjuangannya.
Weta Digital adalah satu-satunya studio animasi yang berbasis di New
Zealand. Keadaan industri animasinya pun menurut Rini agak jomplang,
karena tidak ada perusahaan besar lainnya, "Tidak seperti di US atau
Canada," katanya.
Ternyata tidak hanya Rini sendiri yang bekerja di Weta Digital. Masih
ada beberapa orang Indonesia yang dengan kerja keras berhasil bekerja
di perusahaan tersebut. "Saya enggak tau pastinya berapa banyak di New
Zealand, tapi kalau di Weta, saya sendiri di animation departement. Tapi ada juga orang Indonesia di departement lain seperti rotoscope, fx, dan pipeline," jelasnya.
Rini pun bercerita tentang persaingan antar animator. "Persaingannya
ketat, soalnya makin banyak lulusan-lulusan sekolah animasi yang punya demo reel yang sangat bagus. Jadi makin lama jumlah animator dan demand dari company-nya jadi enggak imbang. Dan juga kalau demo reel kita enggak setara sama standar luar, agak susah untuk di-hire," jelas Rini.
Untuk itu Rini juga merasa kalau dunia animasi di Indonesia sudah
tertinggal dibanding Singapora dan Malaysia. "Mereka sudah lebih maju
dalam industri animasinya, dalam artian pekerjaan animasi di negara
mereka lebih banyak dan lebih berskala besar," tuturnya.
Terakhir, Rini memberikan rekomendasi tempat bagi kalian yang ingin
mendalami dunia animasi. Tapi yang penting diketahui terlebih dahulu
adalah bahwa 3D itu dibagi banyak jurusan dan animasi adalah salah
satunya. "Animation itu hanya untuk bagian penggerakannya,"
katanya. "Untuk di dalam negeri saya sendiri tidak terlalu paham,
karena saya sudah lama tidak tinggal di Indonesia. Untuk di luar
negeri, ada beberapa sekolah yang spesialisasi di animation, seperti animation mentor, salah satu online animation school. Tapi banyak juga sekolah khusus animasi yang bagus di US dan Canada, juga di France seperti Gobelins," tambahnya menutup perbincangan.
Siapa Saja Animator Indonesia?
Indonesia, mempunyai orang-orang kreatif yang sudah mampu berkarya dan diterima dunia internasional. Sebut saja, Wahyu Aditya, Rini Sugianto, Yolanda Santosa, dan Griselda Sastra Winata maupun
lembaga pendidikan animasi bernama Lakon Animasi. Banyak orang dan
penggiat seni animasi yang telah sukses baik untuk menggerakan industri
kreatif Indonesia khususnya di bidang animasi di Indonesia, namun
orang-orang tersebut kurang dikenal di banding para politikus kita.
Siapa sajakah mereka ?
Semoga kisah Rini bisa jadi motivasi dan inspirasi para penggiat animasi dalam negeri untuk terus berkarya.